Senin, 03 November 2008

GONO-GINI DAN WASIAT WAJIBAH Dalam Sistem Perundangan di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Terbentuknya perundang-undangan di negara manapun, termasuk di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan bangsa (negara) yang bersangkutan. Sebagaimana halnya di Indonesia, sebelum dijajah oleh Belanda bangsa Indonesia telah mengikuti hukum kebiasaan (customary law) yang kemudian diperkaya oleh hukum agama yang dipeluk. Hukum agama sangat mendominasi tata kehidupan masyarakat dan telah terjadi akulturasi secara antropologis. Kemudian datang bangsa Eropa, khususnya Belanda menjajah Indonesia, sebagai konsekuensinya hukum Belanda juga berpengaruh dalam tata kehidupan, terutama sekali dalam kehidupan formal berhubungan dengan negara atau pemerintahan dan dalam kasus-kasus resmi di pengadilan.

Setelah Indonesia merdeka, dan bahkan sampai sekarang, walaupun sudah memiliki landasan dasar yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pengaruh hukum Belanda masih mendomanasi dalam sistem perundang-undangan nasional. Dengan perjuangan yang cukup panjang masyarakat bangsa Indonesia akhirnya melahirkan suatu Undang-undang yang bersifat Nasional pada tahun 1974, yakni Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.[1] Selanjutnya, pada tahun 1975 keluar Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, tahun 1983 muncul Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, pada tahun 1990 juga terbit Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan yang terakhir pada tahun 1991 juga telah melahirkan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI.[2]

Membicarakan tentang masalah sistem peraturan perundangan di Indonesia tidak terlepas dari persoalan tentang terbentuknya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, yang pada dasarnya adalah membicarakan sebagian kecil dari Hukum Islam di Indonesia. Bilamana kita membicarakan tentang Hukum Islam di Indonesia, kita akan memasuki sebuah perbincangan yang kompleks[3], sekaligus Hukum Islam menempati posisi yang sangat penting[4] dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang.

Dikatakan bersifat sangat kompleks, karena berlakunya Hukum Islam di Indonesia untuk sebagian besar adalah bergantung pada umat Islam yang menjadi pendukung utamanya. Sekalipun Hukum Islam sudah dilaksanakan di Indonesia dalam kehidupan umatnya sudah lebih dari ribuan tahun, namun Hukum Islam di Indonesia masih belum memperlihatkan bentuknya yang utuh sesuai dengan konsep dasarnya menurut al-Qur'an dan al-Sunnah. Hukum Islam dengan daya lenturnya (adabtability)nya yang tinggi senantiasa berpacu dengan perkembangan kemajuan zaman. Akan tetapi, usaha untuk selalu mengaktualkan Hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan zaman masih belum dikembangkan sebagaimana mestinya, bahkan cenderung hanyut dalam pertentangan yang tak kunjung selesai, sehingga untuk beberapa abad kita masih belum menunjukkan karya nyata mengenai hal ini.

Kemudian, mengenai bagaimana arti penting Hukum Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat kita lihat dalam tiga aspek:

Pertama, secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar kelompok mayoritas di Indonesia, tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama bagi umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subyek yang besar, sehingga betapapun dalam kondisi yang demikian Hukum Islam menempati posisi yang sangat strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam sistem Hukum Indonesia.

Kedua, sekalipun negara Republik Indonesia bukan merupakan sebuah negara Islam, akan tetapi dengan menetapkan Pancasila (terutama sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai dasar negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Hukum Islam secara tidak langsung menempati posisi penting sekali. Kemudian, dalam Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Landasan konstitusional ini adalah merupakan jaminan formal bagi setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan ketentuan Hukum Islam dalam hidup dan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia serta dalam kehidupan bernegara.

Ketiga, bangsa Indonesia dan negara Republik Indonesia dalam rangka kegiatan pembangunannya telah menempatkan pembinaan Hukum Nasional sebagai salah satu bidang garapannya, Hukum Islam mempunyai peluang yang besar untuk masuk sebagai salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan untuk membina Hukum Nasional, di samping bahan-bahan hukum lainnya seperti yang berasal dari Hukum Barat dan Hukum Adat. Hukum Islam dapat diwujudkan dan berperan penting bilamana dapat menunjukkan keunggulan komparatifnya dari berbagai hukum yang lainnya. Arahan dari politik Hukum Nasional mengenai hal tersebut sebenarnya cukup banyak membuka peluang bagi Hukum Islam untuk meraih peranan penting tersebut.

Selain itu, perbincangan tentang Hukum Islam di Indonesia sebagaimana halnya juga Hukum Islam di berbagai kawasan dunia akan selalu menampakkan dua wajah. Pada satu pihak ia akan menampakkan diri sebagai hukum yang bersifat universal dengan daya jangkau untuk semua tempat dan segala zaman, tetapi pada lain pihak Hukum Islam dituntut untuk menampakkan diri dengan wajahnya yang khas Hukum Islam Indonesia.

Selanjutnya, kajian yang dibahas dalam makalah ini tidak mengupas tentang Hukum Islam di Indonesia secara umum, namun hanya sebagian kecil dari Hukum Islam tersebut, yakni tentang sub bagian dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dalam masalah hukum Gono-Gini dan Wasiat Wajibah. Apakah munculnya aturan hukum tersebut ada faktor-faktor yang mempengaruhinya? Khususnya bidang kajian dalam makalah ini adalah keterpengaruhan produk hukum (Gono-Gini dan Wasiat Wajibah) dipandang dari segi histroris-sosiologis.



II. ATURAN GONO-GINI DAN WASIAT WAJIBAH DALAM PERUNDANGAN

Gono-gini diatur dalam perundangan di Indonesia, yaitu menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian disebut dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.

UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang gono-gini dalam satu bab, yakni Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan dan tiga pasal, yaitu: Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, yang dinyatakan sebagai berikut:

· Pasal 35 :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

· Pasal 36 :

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

· Pasal 37 :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.[5]



Selanjutnya, menurut Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disebut dengan Penjelasan UU Perkawinan Tahun 1974), dikemukakan sebagai berikut:

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 35). Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. (Pasal 37).[6]

Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam (Bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan dari Pasal 85 – Pasal 97) mengatur tentang aturan yang berhubungan dengan gono-gini sebagai berikut:

· Pasal 85 :

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

· Pasal 86 :

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

· Pasal 87 :

(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

· Pasal 88 :

Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

· Pasal 89 :

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.

· Pasal 90 :

Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

· Pasal 91 :

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang bewujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

· Pasal 92 :

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

· Pasal 93 :

(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.

(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

· Pasal 94 :

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.

· Pasal 95 :

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

· Pasal 96 :

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

· Pasal 97 :

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[7]



Dari peraturan di atas praktek pelaksanaannya dicontohkan sebagai berikut:

Jika suami dan isteri, salah satunya meninggal lebih dahulu, misalnya yang meninggal adalah suami, maka isteri memperoleh separoh harta bersama lebih dahulu, kemudian sisa dari harta bersama adalah merupakan harta waris suami. Isteri memperoleh harta waris suaminya 1/4 bagian bila suami tidak meninggalkan anak, atau 1/8 bagian jika suami meninggalkan anak. Demikian halnya jika yang meninggal isteri, suami memperoleh separoh atas harta bersama lebih dahulu, sisanya merupakan harta waris isteri. Suami memperoleh 1/2 harta waris istrinya bila isteri tidak meninggalkan anak, atau mendapatkan 1/4 harta waris bila isteri meninggalkan anak.

Apabila suami mempunyai isteri lebih dari satu, harta bersama suami-isteri dihitung sejak akad pernikahan masing-masing dengan isteri-isterinya tersebut.

Berdasarakan aturan di atas, muncullah aturan baru yang berbeda dengan aturan pembagian waris sebelumnya (menurut nash al-Qur'an maupun sunnah Rasul, ataupun hasil ijtihad ulama), di mana tidak ada aturan tentang pembagian harta bersama antara suami isteri (harta gono-gini).

Sedangkan tentang Wasiat Wajibah hanya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, dikemukakan sebagai berikut:

"Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya" (Bab V Pasal 209 ayat 1). "Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya" (Bab V Pasal 209 ayat 2).[8]



Dari peraturan tersebut, menunjukkan suatu peraturan baru di luar perturan waris sebelumnya, di mana orang tua angkat dan anak angkat tidak memperoleh harta waris, dan juga tidak adanya wasiat yang bersifat wajib (wasiat wajibah). Dengan adanya wasiat wajibah tersebut, akan ada kemungkinan pengurangan perolehan harta waris bagi para ahli waris nasab.

1 komentar:

Tyar mengatakan...

minta artikelnya nich wat ngrjain tugas..tenks yah..


http://tyar.web.id